The Culture Shock of Transferring Jobs

Fadhil Noer Afif
5 min readApr 25, 2022

--

source: Xavi Cabrera

Pernah dengar istilah culture shock ?

Kalau istilah culture shock saat pindah kerja, pernah ngalamin ngga?

Ini adalah pengalaman pribadi saya transfer kerja kepada perusahaan baru dengan role yang lebih besar.

Cerita ini adalah pada saat saya baru saja menjalani posisi sebagai CTO di Joyseed Gametribe, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan game. Karena posisi CTO adalah sebuah “key position”, saya punya tanggung jawab dan juga power yang besar dalam mempengaruhi arah gerak dan culture di Joyseed.

Di titik ini, perusahaan kami masih berumur sangat muda, dan berada pada fase sedang menyelesaikan produk pertama nya. Saya adalah full-time member ke-5 dari Joyseed.

Ketika masuk, saya pengen langsung mengimplemen banyak hal di Joyseed. Ini datang dari pemikiran karena di perusahaan sebelumnya, saya udah mengalami proses transformasi perusahaan dari ukuran kecil ke sedang, jadi saya pengen banget mengaplikasikan apa yang udah ada di perusahaan sebelumnya kesini. Saya pikir, Joyseed akan lari jauh lebih kencang dengan cara ini.

Ekspektasi ketika awal masuk jadi CTO. source: ThisisEngineering RAEng

Contohnya, saya ingin mengimplementasi infrastruktur data analytics supaya kami “naik level” jadi perusahaan yang data-driven. Saya ingin pakai tools analytics yang canggih, terus juga hire data analyst yang profesional, dan nge-bangun culture untuk melek data sehingga bisa tau secara detail apa sih yang terjadi ketika user itu menggunakan game kita.

Ini coba saya lakuin dengan serius di bulan — bulan awal saya berada di Joyseed. Saya coba bikin tools, bikin proses untuk implementasi, dan mulai mencari hire analyst baru.

Tapi ternyata setelah menjalani nya, muncul banyak masalah. Selain tools analytics yang harganya ga masuk akal kalau dibandingkan revenue kami, ternyata infrastructure yang mau dibikin juga perlu di maintain dengan baik, yang ujung-ujung nya perlu investasi waktu dan biaya yang ga sedikit.

Saat kami konsultasi dengan parent company kami, kami juga mendapat statement yang cukup menohok juga…

“Emang kalau punya banyak data, buat apa?”

Shock… 😖😖😖

Ketika dengerin itu, awalnya saya jadi defensif banget, saya berpikir bahwa seharusnya kan punya data yang baik pasti akan dapet insight buat implementasi macem — macem, jadi harus dong punya banyak data??

Tapi kenyataan nya, game kami saat itu bahkan belum launch secara penuh, kami masih berkutat dengan menyelesaikan semua fitur yang direncanakan dan membuat FTUE (first-time user experience) yang baik. Di saat itu, kami belum membutuhkan data apakah user sudah beli IAP apa aja, berapa persen user yang jadi “whale”, dsb. Sehingga, data analytics yang canggih itu belum akan berguna segitu banyaknya.

Jadi setelah “memaksa” melakukan ini berbulan-bulan, saya baru sadar, kalau yang dibutuhkan kami saat itu bukan data analytics yang keren atau infrastruktur yang mature.

Yang sangat dibutuhkan kami saat itu, setidaknya di 1 tahun ke depan, adalah peran yang lebih “membumi”. Di kondisi sekarang, yang dibutuhkan Joyseed adalah bikin game bagus, bukan infrastruktur yang matang. Artinya, kami membutuhkan seorang game programmer yang berpengalaman, yang bisa melakukan implementasi produk dengan baik, dan melakukan transfer knowledge tentang bagaimana teknis dan proses pengembangan game dengan baik kepada seluruh tim member.

Akhirnya setelah pergumulan batin tersebut, saya coba menerima kenyataan tersebut dan mengganti topi saya dari CTO jadi seorang game programmer + scrum master. Mulai dari titik itu saya berencana untuk membantu transformasi tim sehingga bisa membuat produk yang baik dan dengan proses yang baik juga.

Sehingga, dengan kerja keras semua Ohana (team member) dari Joyseed, lahir lah game — game yang sukses seperti Rocky Rampage, Kingdomtopia, Light of Eden, dan lain-lainnya.

Penyebab

Jadi, yang bikin saya kaget dan shock tuh kira — kira kaya gini. Ternyata, walaupun bergerak di bidang yang sama (game development), tidak ada perusahaan yang dalemannya sama persis. Culture yang dibangun di dalam perusahaan bisa jadi sangat berbeda, karena ya jelas orang — orang yang ada di dalamnya juga beda.

Selain culture, fase dan struktur perusahaan nya itu juga bisa jadi sangat berbeda. Di kasus saya, saya berpindah dari satu studio game yang sudah berdiri hampir 10 tahun, ke studio yang umurnya belum sampai 2 tahun, dengan saya sebagai tim member ke-5 ! Bayangkan jomplang nya fase perusahaan ini, dan ini menyebabkan dinamika dan cara kerja keduanya juga jadi beda banget.

Yang jadi kesalahan saya, itu saya pikir bisa langsung melakukan apa yang saya tahu, ke perusahaan yang kondisinya sangat berbeda. Kalau di analogikan sama mainan anak anak, ini tuh kaya saya mencoba memasukkan balok yang berbentuk segitiga ke dalam lubang berbentuk bintang, ya pasti ga akan cocok. Nah ini yang awalnya saya maksa banget buat lakuin, dan hasilnya malah bikin apa yang saya kerjakan jadi ga impactful.

Saya jadi ingat sebuah buku yang dituliskan oleh Marshall Goldsmith, yang berjudul What Got You Here Won’t Get You There. Penulisnya bilang, kalau kita itu sangat rentan untuk terperangkap dengan kerangka pikir kalau skill yang nge-bawa kita sampai titik ini, adalah skill yang juga bisa nge-bawa kita ke fase selanjutnya.

Dalam kasus saya, hal ini benar — benar terjadi, dan perlu waktu yang lama buat saya menyadari bahwa saya harus “hit refresh” cara pandang saya, unlearn everything, and re-learn everything.

Takeaways

Saya ingin sharing tentang ini, karena lebetulan banget saya sedang berpindah lagi ke tempat baru yang memiliki cara kerja dan culture yang sangat berbeda juga. Sejujurnya, walaupun ini tempat kerja yang ke-3 buat saya, tapi saya tetap aja kena culture shock juga. Rasa — rasanya sih, culture shock ini pasti akan selalu dialami ya. Akan tetapi, hopefully, culture shock kali ini ngga akan parah — parah banget efeknya.

Dari pengalaman sebelumnya, saya jadi punya takeaways yang ingin saya apply disini. Saya perlu memiliki mindset untuk bisa unlearn dan re-learn hal baru dengan cepat. Ini penting karena kita dihadapkan dengan sesuatu yang baru, jadi kita harus bisa merelakan apa yang sudah lama kita pegang, dan adapt dengan situasi yang ada sekarang. Semakin mampu kita menerima kalau cara berpikir kita harus berubah, semakin cepat kita bisa move on ke cara berpikir yang baru, dan semakin cepat juga kita bisa memberikan impact dengan tempat ke tempat kerja barumu.

Semoga sukses, adios!

--

--

Fadhil Noer Afif
Fadhil Noer Afif

Written by Fadhil Noer Afif

Half-nerd, half-geek. Director at Reima Project, a game development studio.

No responses yet