Pikorua Studio’s Learning and Takeaways of 2022

Fadhil Noer Afif
8 min readJan 12, 2023

--

Bagaimana 2022 memberi kami pelajaran yang sangat berharga.

Pikorua Studio adalah sebuah studio interaktif yang dibentuk pada awal tahun 2022 oleh saya dan co-founder saya Phoen Leo. Kami berdua memiliki background yang mirip (we’re ex-CTOs), sehingga banyak sekali pembelajaran yang kami hadapi ketika kami banting setir menjadi peran yang lebih business-oriented dalam rangka membangun perusahaan. Berikut ini adalah beberapa kesalahan dan pembelajaran yang kami alami di tahun 2022.

Not fully understand our target market

Produk pertama yang ingin kami buat di studio kami adalah sebuah “3D gallery” untuk menampilkan NFT item yang dimiliki oleh user, yang mana saat itu lagi hype-hype nya. Hipotesisnya, user ini banyak yang beli NFT tapi kurang media untuk pamer selain di Twitter dan Marketplace, sehingga kami ingin masuk ke area itu.

Our first project is called Spaceloft, yang mana user bisa punya Loft (apartemen) virtual yang bisa diisi NFT 2D dan 3D yang bisa ditampilkan.

Salah satu iterasi awal Spaceloft, sebuah app yangmenampilan NFT milik player.

Ketika kami mulai develop app nya, kami stumble sama satu pertanyaan :

“why do people want to use this app? “

Kami nggak bisa benar – benar menjawab pertanyaan itu dengan pasti, karena kami berdua nggak 110% nyemplung di dunia NFT. Level NFT enthusiasm kami itu baru sekedar “beli – beli tipis”, tapi nggak pernah bener – bener coba living and breathing it. Seharusnya, kami harus berani beli, berani jual, berani gerilya masuk ke Discord server buat dapet whitelist, dan berani rugi, biar beneran dapet feeling dari seorang serious NFT user. Tapi dengan berbagai excuse, kita ga berani go deeper to understand the market, dan hasilnya, produk kami jadi hambar dan sulit untuk menentukan value proposition yang jelas.

Not playing within our own strength

Spaceloft adalah sebuah app yang menawarkan solusi untuk permasalahan user. Challenge dengan ini, adalah kami berdua datang dari background pengembang gim, yang lebih fokus bikin experience yang enjoyable, daripada mencari solusi dan mengetahui “pain point” nya user.

Walaupun sebenarnya bisa jadi thinking process antara bikin gim dan app itu serupa, tapi tenyata membutuhkan waktu untuk shift mindset dari “fun-first” ke “solution-first” thinking. Sehingga, butuh waktu lebih lama untuk membuat design app nya, yang mungkin secara opportunity cost bisa dimanfaatkan lebih baik jika kita membuat product yang fokus ke entertainment saja.

Berangkat dari takeaways tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk fokus ke apa yang kita pikir adalah keahlian kita : develop game.

Setelah melakukan market research, kami melakukan beberapa iterasi product game. Kami mengeksplorasi cukup banyak ide game, mulai dari arcade racing, auto-battler game, sampai puzzle game.

Prototype arcade racing dengan karakter dari NFT CyberKongz VX.

Pada akhirnya, kami memutuskan unuk iterasi sebuah ide game kartu dengan art-style anime, dengan code-name KIZUNA.

KIZUNA adalah crowd-based CCG dimana player bisa mengoleksi kartu anime secara real-time bersama dengan banyak player lain di “room” yang sama. Pemain bisa membuka “booster pack” dengan gratis, tapi berbeda dengan game lain dimana player langsung memiliki isi kartunya, di KIZUNA, isi kartu akan diperebutkan beramai – ramai dengan pemain yang lain. Pemain bisa mengoleksi, mendekorasi, dan bertukar / berjualan kartu yang mereka miliki.

Prototype dari KIZUNA. Artwork by HotaruKiyo

Pada saat itu, kami melihat ada opportunity yang menarik di konsep KIZUNA ini, sehingga kami putuskan untuk develop vertical slice nya.

Tapi di masa ini lah kami melakukan banyak kesalahan, dan menjadi pembelajaran besar di tahun 2022 ini.

Going too far for details

KIZUNA adalah experimental product yang belum memiliki product pembanding di market, sehingga banyak hal detail yang perlu dijawab ketika mengembangkannya. Tapi ternyata kami terlalu terobsesi dengan detail nya. Kami sudah memilikirkan warna dan bentuk UI, padahal kami belum memikirkan visi product keseluruhan. Kami sudah fokus ke memikirkan optimisasi server, tapi kami belum menyelesaikan prototype gameplay. Ini membuat product nya terlihat cukup polished, tapi tidak playable.

Kami terlupa, kalau details itu tidak terlalu penting kalau first vertical slice dari game nya saja belum bisa dimainkan. Seharusnya, kami fokus mengarahkan waktu development kami untuk menjawab pertanyaan : “is it fun? will user want to play this?”, daripada memikirkan details – details lain yang terlalu dalam.

Frequently went into analysis paralysis

Saat men-develop KIZUNA, banyak sekali micro-decision yang harus kita ambil agar pengembangan bisa jalan dan akhirnya bisa dicoba oleh user. Kesalahan kami, adalah kami terlalu banyak menganalisis permasalahan, sehingga malah seringkali “stunned” ketika harus make decision.

Sebagai contoh, card di KIZUNA ini ditempatkan di “timeline view” layaknya social media, yang kontennya di scroll secara vertikal. Pertanyaan nya :

Kartu yang baru di draw ke timeline itu, harus muncul di bawah UI(seperti chatroom), atau atas (seperti Instagram) ?

Kartu yang baru di draw harus muncul di bawah (seperti chatroom), atau atas (seperti Instagram) ?

Untuk menjawab ini, kita melakukan banyak riset, mencari plus minus nya, diskusi meeting, dan seterusnya, dan ini bisa berlangsung berhari – hari.

Padahal, mungkin cara yang lebih baik adalah coba langsung pilih salah satu saja, lalu berikan langsung ke user, dan ambil feedback langsung dari mereka.

Hal – hal seperti ini cukup sering terjadi, sehingga membuat development projectnya menjadi banyak tertunda karena terlalu lama ambil decision.

Not being lean enough (not doing it efficiently)

Terlalu banyak fitur yang ingin ditambahkan.

Ketika masa awal membangun startup, salah satu yang seharusnya harus di kejar itu adalah speed dan efficiency. Produk harus secepatnya sampai ke tangan early user, sehingga bisa langsung mendapatkan validasi apakah benar produk kita ini menjanjikan.

Kami aware dengan hal tersebut, tapi ternyata menjalankannya butuh disiplin dan konsistensi. Vertical slice pertama KIZUNA ini ditargetkan selesai dalam 2 bulan, tapi project mengalami delay sampai dengan 6 bulan lebih.

Saat proses pengembangan, kami kurang berpikir cerdas untuk mencari “quick and dirty” solution.

Sebagai contoh, KIZUNA adalah game online real-time yang memerlukan implementasi networking yang tidak sederhana. kami langsung memilih untuk mengerjakan game nya dengan full network support, dengan pemikiran bahwa this is the only way to validate the fun.

Tapi seharusnya, di fase awal yang fokus ke validasi “fun experience”, kami lupa bertanya :

  • apakah di prototype, game nya harus benar-benar full online?
  • apakah player benar – benar harus bermain dengan real person, atau bisa di simulasikan pakai bot player?
  • apakah fitur yang dibutuhkan di MVP perlu sebanyak itu? apakah bisa di potong sampai the simplest thing saja?

Karena kami kurang disiplin bertanya hal – hal tersebut saat development, kami jadi membuat project yang terlalu “bloated” untuk skala MVP, sehingga memakan waktu yang terlalu lama, yang sebenarnya bisa dipangkas dengan signifikan.

Experimenting too much at the same time

Saat pengembangan KIZUNA, kita berusaha untuk menjawab 2 key problem dari product ini :

  • Apakah anime CCG dengan original anime IP bisa memiliki interest yang cukup?
  • Apakah core experience yang kita plan ini bisa dinikmati oleh user di mobile?

Saat proses pengembangan KIZUNA, kami berusaha menjawab 2 pertanyaan tersebut di waktu yang bersamaan, sehingga membuat proses development menjadi terbelah dua. Sebagian waktu kita dipakai untuk mengembangkan original IP, dan sebagian waktu yang lain dipakai untuk mengiterasi gameplay dan user experience nya.

Dengan melakukan iterasi 2 hal tersebut secara bersamaan, ini menyebabkan vertical slice kita juga tidak kunjung selesai, yang pada akhirnya juga ternyata sulit unuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Seharusnya, kami bisa lebih fokus untuk menjawab satu pertanyaan dulu dan mengesampingkan problem lainnya, sehingga iterasi produk menjadi lebih maksimal.

Not thinking about killing the product

Hal terakhir yang mungkin menurut saya pembelajaran paling krusial, adalah kita tidak berpikir untuk kill our product before it’s too late. Saat men-develop suatu product, kami tidak cukup “tega” untuk stop development saat potential metrics nya tidak tercapai. Saat develop KIZUNA dan beberapa iterasi prototype sebelumnya, kami terlalu condong untuk terus mengiterasikan product nya saja, padahal besar kemungkinan product nya memang tidak akan laku.

Satu hal yang membuka mata saya adalah ketika kami berdiskusi dengan rekan bisnis dan beliau berkata seperti ini.

Coba ambil 2 menit aja buat pikir, kalau kamu kill this project seketika sekarang. Will you be happy or sad? Kalau kamu happy, mungkin memang waktu nya buat re-assess dan think about other opportunities.

Kami masih sering terjerumus ke dalam sunk-cost fallacy, dan merasa bahwa apa yang udah kita bikin itu akan sukses kalau kita terus iterasikan. Tapi, kami lupa menghitung opportunity cost jika ada kesempatan baru. Padahal, sebagai small company, kami punya advantage dimana kami bisa pivot dan cari opportunity baru dengan gesit.

Lots of learning and takeaways

Tahun 2022 sangat banyak memberikan pelajaran untuk kami. Sebagai technical person yang banting setir ke arah generalist, sangat banyak hal yang masih butuh saya unlearn dan relearn. Salah satu key learning yang saya dapatkan secara pribadi adalah :

It takes different skill to build from zero to one, than to build from one to ten.

Kemampuan yang dibutuhkan untuk membangun sesuatu dari nol, itu sangat berbeda dengan kemampuan untuk keep the company going. Inilah sesuatu yang ingin kami pelajari saat memutuskan untuk membangun studio sendiri.

Di sisi lain, kami sangat bersyukur atas apa yang sudah kami pelajari di tahun ini. Kami juga mengucapkan terimakasih atas semua tim member dari Pikorua Studio, kawan – kawan freelance yang sudah membantu berkontribusi, dan partner bisnis yang sudah membantu kami di tahun 2022. Semoga di tahun 2023 Pikorua Studio dapat bangkit dan menghasilkan produk yang sustainable dan bisa dinikmati oleh target user kami.

Thank you 2022, dan welcome 2023!

Adios!

--

--

Fadhil Noer Afif
Fadhil Noer Afif

Written by Fadhil Noer Afif

Half-nerd, half-geek. Director at Reima Project, a game development studio.

Responses (1)