Membangun Skill untuk Menerima Kritik

Apakah kamu salah satu orang yang takut menerima kritik? Kalau begitu, kita sama 😁.

Fadhil Noer Afif
4 min readMay 25, 2024
Photo by Johaer on Unsplash

Apakah kamu salah satu orang yang takut menerima kritik? Kalau begitu, kita sama 😁.

Saat menerima kritik, kepala bisa berputar, mata berkunang kunang, tangan gemeteran. Apalagi kalau kritiknya itu pedes dan menusuk ke hati. Apalagi saya tipe orang yang aslinya ga suka konfrontasi, jadi kalau dikasih kritik itu rasanya kaya kena critical damage gitu.

Selain itu, kita juga gak bisa mengontrol apa yang orang sampaikan ya, kadang ada yang mengkritik dengan bahasa yang bagus, tapi ada juga yang menyakitkan banget kaya gini

“game sampah, developernya males malesan, not recommended!”

Periih banget rasanya 🥲

Di sisi lain, menerima kritik itu sangat penting buat kita, karena dengan nerima kritik kita jadi bisa tahu apa yang kita harus perbaiki ke depannya. Jadi sebenarnya jika dikelola dengan baik, menerima kritik itu dapat menjadi sarana yang baik untuk bertumbuh.

Semenjak beberapa tahun lalu, saya coba belajar biar lebih bisa menerima kritik. Caranya gimana? Saya mencoba “memancing”.

Saya coba lebih aktif post di online, lebih rajin baca review dan komentar, dan juga aktif untuk meminta feedback dan “wejangan” dari expert, mentor, lingkungan kerja, dan tentu saja warganet yang budiman 😁. Plus, saya juga belajar beberapa buku tentang memberi dan menerima kritik (salah satunya Radical Candor).

Ini adalah beberapa pelajaran yang saya dapetin tentang menerima kritik.

Belajar mengenal reaksi reflek diri saat menerima kritik

Dalam waktu singkat setelah menerima kritik, badan kita akan memicu reaksi flight or fight: detak jantung naik, badan gemetar, napas cepat. Ini adalah reaksi “default” badan untuk mengenali ancaman.

Jika kita terlalu “memanjakan” reaksi ini, kita bisa menjadi defensif dan malah berusaha untuk jadi yang paling benar, daripada menerima kritik itu sendiri.

Tipsnya? Berikat waktu beberapa saat sebelum kita mengolah kritik yang kita terima. Biarkan reaksi refleks kita berlalu, tenangkan diri, baru terima kritiknya.

Pisahkan siapa yang mengkritik dan apa yang dia sampaikan

Beberapa waktu yang lalu seseorang yang sangat saya segani memberikan kritik. Dia adalah seorang enterpreneur yang sudah sukses bikin bermacam macam usaha.

Dia bilang kalau mindset berbisnis saya ini salah total. Dia bilang kalau mau studio kamu tetap bertahan, kamu harus ganti usaha nya atau bubarin aja.

Jlebb! Pada saat itu saya ngerasa down banget, merasa gagal jadi manusia dan rasanya pingin mengubur diri aja. Sempat juga saya jadi sangat defensif dan gak mau nerima feedback dari siapapun.

Gak biasa nerima feedback negatif. Perih coyy!

Tapi setelah dipikir — pikir lagi, gimana kalau yang ngasih kritik ini misalnya teman yang udah saya percaya atau pasangan saya? Mereka adalah orang yang saya udah percaya kalau mengkritik, pasti untuk kebaikan saya sendiri. Akankah saya menerima kritiknya dengan menyakitkan? Rasanya nggak deh.

Mungkin kritiknya berasa pedes karena saya gak pengen keliatan jelek di mata orang ini. Jadi kita itu lebih nggak mau jadi rendah, sehingga secara nggak sadar kita jadi gak mau menerima kritiknya.

Jadi, sekarang saya coba belajar buat misahin siapa yang mengkritik sama orangnya. Karena bisa jadi substansi dari kritik nya itu benar, terlepas dari siapa yang menyampaikannya, bahkan jika kritik itu disampaikan dari orang asing sekalipun.

Menerima kritik itu seperti skill yang bisa dibangun

Saya sedang berusaha membangun belief kalau menerima feedback itu adalah sebuah skill, yang artinya dia itu bisa dipelajari, dan bukanlah sesuatu yang udah fixed dari sononya.

Ketika awal kami mencoba bangun kultur di Joyseed Gametribe, kami coba untuk membuat semua anggota tim terbiasa untuk memberikan kritik satu sama lain. Awalnya cukup sulit memang, tapi semakin lama kita menerima kritik dari teman kerja, semakin kita lebih terbiasa.

Jika kita sudah terbiasa menerima kritik dari teman, selanjutnya adalah coba mencari feedback dari circle yang lebih luas lagi, seperti mentor, expert, dan orang asing sekalipun, hingga akhirnya kritik itu akan lebih terasa tidak terlalu pedas dan dapat menjadikan kita lebih baik.

Tentunya, ini harus dibarengi dengan konsep diri yang kuat juga ya, sehingga saat menerima kritik, kita nggak gampang goyah dan punya kemampuan memfilter mana yang cocok dengan kita atau tidak.

Jadi, apakah kamu punya pendapat atau cerita pribadi saat belajar menerima kritik? Yuk jangan ragu buat diskusi ya!

--

--

Fadhil Noer Afif

Half-nerd, half-geek. Director at Reima Project, a game development studio.